Dalam postingan sebelumnya blog ini sudah menampilkan Gambar Kamasutra - Posisi Hubungan Intim Suami Isteri.
Lalu bagaimana cara berhubungan intim dalam ajaran Islam? Ada aturan
aturan saat pasangan suami isteri hendak melakukan senggama atau
hubungan intim atau bersetubuh. Menjadi pasangan pengantin baru
merupakan kebahagian tersendiri bagi kedua mempelai. Rasa bahagia itu
begitu menyentuh qalbu yang paling dalam, hati seakan tak mampu
menampung rasa bahagia yang telah meluap memenuhi relung hati. Namun
begitu, kebahagian menjadi pengantin baru akan terasa lebih sempurna
tatkala telah melewati kebersamaan dimalam pertama dengan penuh cinta.
Malam dimana seseorang bisa menyalurkan hasratnya saat Bercinta
melalui jalan yang diridhai Allah. Sehingga, dengannya tak sekedar
kenikmatan yang diperoleh tapi juga pahala dapat diraih. Nilai pahala
akan lebih bertambah seiring bertambahnya rasa kasih dan sayang antara
kedua mempelai manakala berhias dengan adab-adab saat menuju peraduan
cinta, sebagaimana yang dituntunkan Nabi shallallahu a’laihi wasallam
sebagai pembawa syariat Islam yang sempurna.
Diantara adab-adab cara bersetubuh dalam islam adalah sebagai berikut :
Sebelum bermalam pertama, sangat disukai untuk memperindah diri masing-masing dengan berhias, memakai wewangian, serta bersiwak.
Berdasarkan sebuah hadits dari Asma’ binti Yasid radhiyallaahu ‘anha ia
menuturkan, “Aku merias Aisyah untuk Rasulullah shallallahu a’laihi
wasallam. Setelah selesai, aku pun memanggil Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Beliau pun duduk di sisi Aisyah. Kemudian diberikan
kepada beliau segelas susu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
meminum susu tersebut dan menyerahkannya pada Aisyah. Aisyah menundukkan
kepalanya karena malu. Maka segeralah aku menyuruhnya untuk mengambil
gelas tersebut dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” [HR Ahmad,
sanad hadits ini dikuatkan oleh Al-Allamah Al-Muhadits Al-Albani dalam
Adabul Zifaf].
Adapun disunnahkannya bersiwak, karena adab yang dicontohkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau selalu bersiwak
setiap setiap hendak masuk rumah sebagaimana disebutkan oleh Aisyah
radhiyallaahu ‘anha dalam Shahih Muslim. Selain itu akan sangat baik
pula jika disertai dengan mempercantik kamar pengantin sehingga menjadi
sempurnalah sebab-sebab yang memunculkan kecintaan dan suasana romantis
pada saat itu.
Hendaknya suami meletakkan tangannya pada ubun-ubun istrinya seraya
mendoakan kebaikan dengan doa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam ajarkan :
اللّهمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا
عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dari kebaikannya (istri)
dan kebaikan tabiatnya, dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya
dan kejelekan tabiatnya.”[HR. Bukhari dari sahabat Abdullah bin Amr bin
Al Ash radhiyallaahu 'anhu].
Disunnahkan bagi keduanya untuk melakukan shalat dua rakaat
bersama-sama. Syaikh Al Albani dalam Adabuz Zifaf menyebutkan dua atsar
yang salah satunya diriwayatkan oleh Abu Bakr Ibnu Abi Syaiban dalam
Al-Mushannaf dari sahabat Abu Sa’id, bekat budak sahabat Abu Usaid,
beliau mengisahkan bahwa semasa masih menjadi budak ia pernah
melangsungkan pernikahan. Ia mengundang beberapa sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, diantaranya Abdullah bin Mas’ud, Abu
Dzarr, dan Hudzaifah.
Abu Sa’id mengatakan, “Mereka pun membimbingku, mengatakan, ‘Apabila
istrimu masuk menemuimu maka shalatlah dua rakaat. Mintalah perlindungan
kepada Allah dan berlindunglah kepada-Nya dari kejelekan istrimu.
Setelah itu urusannya terserah engkau dan istrimu. “Dalam riwayat Atsar
yang lain Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu mengatakan,
perintahkan isrtimu shalat dibelakangmu.”
Ketika menjumpai istri, hendaknya seorang suami berprilaku santun kepada
istrinya semisal dengan memberikan segelas minuman atau yang lainnya
sebagimana dalam hadits di atas, bisa juga dengan menyerahkan maharnya.
Selain itu hendaknya si suami untuk bertutur kata yang lembut yang
menggambarkan kebahagiaannya atas pernikahan ini. Sehingga hilanglah
perasaan cemas, takut, atau asing yang menghinggapi hati istrinya.
Dengan kelembutan dalam ucapan dan perbuatan akan bersemi keakraban da
keharmonisan di antara keduanya.
Apabila seorang suami ingin menggauli istrinya, janganlah ia
terburu-buru sampai keadaan istrinya benar-benar siap, baik secara
fisik, maupun secara psikis, yaitu istri sudah sepenuhnya menerima
keberadaan suami sebagai bagian dari dirinya, bukan orang lain. Begitu
pula ketika suami telah menyelesaikan hajatnya, jangan pula dirinya
terburu-buru meninggalkan istrinya sampai terpenuhi hajat istrinya.
Artinya, seorang suami harus memperhatikan keadaan, perasaan, dan
keinginan istri. Kebahagian yang hendak ia raih, ia upayakan pula bisa
dirasakan oleh istrinya.
Bagi suami yang akan menjima’i istri hanya diperbolehkan ketika istri
hanya diperbolehkan ketika istri tidak dalam keadaan haid dan pada
tempatnya saja, yaitu kemaluan. Adapun arah dan caranya terserah yang
dia sukai. Allah berfirman yang artinya, “Mereka bertanya kepadamu
tentang haid. Katakanlah, “Haid itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab
itu hendaklah kalian menjauhi (tidak menjima’i) wanita diwaktu haid, dan
janganlah kalian mendekati (menjima’i) mereka, sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu pada tempat yang
diperintahkan Allah kepad kalian (kemaluan saja). Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang mensucikan diri. Istri-istri kalian adalah
(seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah tanah
tempat itu bagaimana saja kalian kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang
baik) untuk diri kalian, bertakwalah kepada Allah, ketahuilah bahwa
kalian kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada
orang-orang yang beriman.” [Q.S. Al Baqarah: 222-223].
Ingat, diharamkan melalui dubur. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda yang artinya, “Barang siapa yang menggauli istrinya ketika
sedang haid atau melalui duburnya, maka ia telah kufur dengan apa yang
diturunkan kepada Muhammad.” [HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan yang
lainnya, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu
Dawud]. Kata ‘kufur’ dalam hadits ini menunjukkan betapa besarnya dosa
orang yang melakukan hal ini. Meskipun, kata para ulama, ‘kufur’ yang
dimaksud dalam hadits ini adalah kufur kecil yang belum mengeluarkan
pelakunya dari Islam.
Telah kita ketahui bersama bahwa syaitan selalu menyertai, mengintai
untuk berusaha menjerumuskan Bani Adam dalam setiap keadaan. Begitu pula
saat jima’, kecuali apabila dia senantiasa berdzikir kepada Allah. Maka
hendaknya berdo’a sebelum melakukan jima’ agar hal tersebut menjadi
sebab kebaikan dan keberkahan. Do’a yang diajarkan adalah:
بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
“Dengan nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari syaithan dan
jauhkanlah syaithan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami.”[HR.
Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallaahu
'anhu]. Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa seandainya Allah
mengkaruniakan anak, maka syaithan tidak akan bisa memudharati anak
tersebut. Al Qadhi menjelaskan maksudnya adalah syaithan tidak akan bias
mearsukinya. Sebagaimana dinukilkan dari Al Minhaj.
Diperbolehkan bagi suami dan istri untuk saling melihat aurat satu sama
lain. Diperbolehkan pula mandi bersama. Dari Aisyah radhiyallaahu ‘anha
berkata, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah dalam satu bejana dan kami
berdua dalam keadaan junub.” [HR. Al Bukhari dan Muslim.]
Diwajibkan bagi suami istri yang telah bersenggama untuk mandi apabila
hendak shalat. Waktu mandi boleh ketika sebelum tidur atau setelah
tidur. Namun apabila dalam mengakhirkan mandi maka disunnahkan terlebih
dahulu wudhu sebelum tidur. Berdasarkan hadits Abdullah bin Qais, ia
berkata, “Aku pernah bertanya kepada Aisyah, ‘Apa yang dilakukan Nabi
ketika junub? Apakah beliau mandi sebelum tidur ataukah tidur sebelum
mandi?’ Aisyah menjawab, ‘Semua itu pernah dilakukan Rasulullah.
Terkadang beliau mandi dahulu kemudian tidur dan terkadang pula beliau
hanya wudhu kemudian tidur.”[HR. Ahmad dalam Al Musnad]
Tidak boleh menyebarkan rahasia ranjang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya diantara manusia yang
paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah
laki-laki yang mendatangi istrinya dan istrinya memberikan kepuasan
kepadanya, kemudian ia menyebarkan rahasianya.” [HR. Muslim dari sahabat
Abu Sa’id Al Khudri radhiyallaahu 'anhu]
Dari poin-poin yang telah dijelaskan nampaklah betapa agungnya
kesempurnaan syariat Islam dalam mengatur semua sisi kehidupan ini.
Sehingga pada setiap gerak hamba ada nilai ibadah yang bisa direngkuh
pahalanya. Tidak sekedar aktivitas rutin tanpa faedah, tak semua
pemenuhan kebutuhan tanpa hikmah. Oleh sebab itu tak ada yang sia-sia
dalam mengikuti aturan Ilahi dan meneladani sunnah Nabi. Semuanya
memiliki makna serta mengandung kemaslahatan, karena datangnya dari
Allah Dzat Yang Maha Tinggi Ilmu-Nya lagi Maha sempurna Hikmah-Nya. Maka
dari itu syariat yang Allah turunkan selaras dengan fitrah hamba-Nya
sebagai manusia, sebagimana disyariatkan pernikahan.
Kesempurnaan syariat Islam ini menunjukkan betapa besarnya perhatian
Allah terhadap hamba-Nya melebihi perhatian hamba terhadap dirinya
sendiri. Oleh karenanya, hendaklah setiap hamba tetap berada di atas
fitrah tersebut di atas agama allah agar dirinya selalu berada di atas
jalan yang lurus, “(Tetaplah di atas fitrah) yang Allahtelah menciptakan
manusia menurut fitrah itu.” [QS. Ar Rum: 30]. Allahu a’lam.
Dikutip dari Majalah Tashfiyyah Edisi 09 Vol. 01 1432 H-2011M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar